GAWAI DI KELAS BUKAN UNTUK DIKUTUK
“Kalian semua punya hp kan? Minggu depan kita belajar di luar kelas. Kalian belajar wawancara, memotret, dan menuliskan hasil pengamatan kalian. Tugasnya dikumpulkan melalui Instagram, ya! Saya ogah kalian menulis tugas di kertas. Paling setelah saya baca, kertasnya saya buang.”
Itu instruksi yang kerap kali berhasil saya terapkan dan membuat wajah peserta didik semringah. Alasan utama karena mereka akan belajar di luar kelas. Selebihnya, mereka menyetujui kalau tugas di atas kertas itu membosankan. Sebab, mereka sudah melakukannya sejak zaman mengenal bangku sekolah. Bahkan mungkin sejak mereka berlatih soal-soal di rumah dengan didampingi oleh orangtua.
“Saya ingin kalian berkarya. Jadi, tugas kalian bisa jadi salah satu portofolio kalian. Saya berharap sih kalian tidak berhenti belajar begitu kelas ini selesai di pertemuan ke-12. Semisal kalian nanti keliling dunia untuk bekerja, kalian tak lupa menuliskan kisah perjalanan kalian dan membagikannya ke orang lain. Intinya, berkarya. Sampai kapan pun.”
Penekanan pada kata ‘berkarya’ adalah cara saya untuk menghadirkan kosakata baru dalam mindset murid-murid saya di Surabaya Hotel School. Boleh saja mereka masuk sekolah perhotelan yang berdiri sejak 1988 itu dengan motivasi untuk lekas bekerja. Kuliah 6 bulan, lanjut magang 6 bulan, kemudian berjibaku di dunia kerja. Namun, hidup kan tidak melulu begitu?
Apalagi dengan menilik usia mereka yang masih muda, saya justru tertantang untuk menumbuhkan sesuatu di dalam pikiran mereka. Apa itu? Mendorong mereka sebagai manusia pembelajar, bukan sekadar manusia pekerja. Maka, di sela-sela penyampaian materi inti, kisah inspirasional dari orang lain atau pengalaman hidup saya, saya coba bagikan ke mereka. Atau lebih sering begini: saya jadi moderator yang memandu diskusi. Lalu, saya minta mereka bercerita, berbagi gagasan, lantas ditimpali oleh siswa yang lain. Mereka saling bertukar gagasan. Saling memperkaya. Pembelajaran pun jadi tidak monoton – searah – dengan hanya menjadikan mereka sebagai pendengar pasif. Namun, lebih dari itu, menjadikan kelas sebagai arena diskusi interaktif.
Kembali pada pembuka tulisan ini. Saya sebenarnya memanfaatkan gawai untuk pembelajaran, tak lain karena kegelisahan saya dengan siswa yang gampang terdistraksi oleh gawai mereka. Dulu, ketika baru memasuki kelas, acap kali saya menemukan siswa yang asyik mendengarkan lagu dengan headset terpasang di telinga mereka. Kadang di tengah pembelajaran, mereka membuka gawai mereka. Saya pikir, kalau saya bikin aturan bahwa mereka harus off-kan gawai selama belajar, bisa saja. Namun, setelah itu, mereka akan melampiaskannya di luar kelas.
Aha! Kenapa saya tidak mengikutsertakan gawai dalam pembelajaran, ya? Artinya, alih-alih menentang atau memarahi mereka, saya justru dapat ide untuk menggunakan gawai sebagai media belajar. Maka, ketika di materi travel writing, saya minta mereka mengeluarkan gawai, mendengarkan musik dengan headset, sambil melihat foto-foto perjalanan, barulah mereka tulis di buku, lalu bacakan di depan teman-temannya.
Di materi lainnya, ketika harus praktik di luar kelas, mereka saya instruksikan untuk mengamati, mewawancarai, memotret, lalu menulis. Semua itu jadi satu paket pembelajaran yang tugasnya dikumpulkan via Instagram dengan caption 250 kata! Ya, bahkan saya mencandai mereka, “Mungkin ini menjadi caption terpanjang kalian selama main Instagram.” Awalnya mereka protes terlalu panjang. Namun, saya yakinkan mereka bagaimana kekuatan sebuah narasi yang menggugah. Tentu, saya bekali dulu mereka dengan teknik dan trik menulis.
Bahkan, tugas akhir mereka di kelas yang saya ampu, yakni Ecotourism, bukan lagi berupa tes tulis atau tes lisan empat mata. Namun, mereka harus membuat konsep cerita dan mengemasnya dalam sebuah video yang fun sekaligus informatif. Jadi, kami jalan-jalan ke luar Kota Surabaya, melakukan aktivitas (entah mencoba wisata kuliner lokal, kunjungan budaya ke candi, camping di pantai, atau belajar panganan lokal), lalu masing-masing mereka merekam aktivitas itu dengan gawainya. Tugasnya pun diunggah ke Instagram atau YouTube setelah diedit, baik itu narasi, urutan gambar, juga tambahan audio pendukung. Mereka punya karya yang ‘abadi’ di dunia digital. Tugas mereka selesai. Saya menonton video mereka dan memberi komentar. Impas!
Jadi, gawai terpakai untuk pembelajaran. Visual, auditori, kinestetis, emosional, dan jenih kecerdasan lain mereka terpakai. Tidak ada kertas yang terbuang. Tidak perlu menghafal teori dengan wajah merengut dan dahi berkerut. Tidak ada siswa yang tidak tahu kelebihan dan kekurangan tugasnya karena terbuka dibincangkan di media sosial.
Dan, satu lagi, mereka tidak perlu khawatir perkara nilai. Sebab, pembelajaran mereka tidak semata-mata saya nilai dari tugas akhir. Dan saya sebagai pengajar juga tidak berorientasi pada hal itu. Terpenting adalah bagaimana meninggalkan jejak di benak mereka bahwa belajar itu menyenangkan dan bermakna.
Semoga!