SENI MENGABAIKAN
Kita telah hidup dizaman yang terlalu memedulikan banyak hal. Informasi deras mengguyur kita. Buka saja media sosial, ada banyak isu yang langsung tersaji di depan kita. Bahkan, tanpa mengundangnya masuk ke dalam otak, mereka hadir dalam bentuk notifikasi pesan di Whatsapp, Line, Instagram, Facebook, YouTube, surel, dan seterusnya.
Terbayang jika Anda punya banyak waktu luang dan tidak punya sesuatu untuk tekun dikerjakan, maka Anda akan mudah terdistraksi oleh pesan-pesan tersebut. Bisa jadi, lebih dari lima puluh persen waktu Anda yang 24 jam disabotase oleh gawai Anda. Sebab ada begitu banyak kesenangan yang ia tawarkan. Hiburan berupa musik, games, video, konten visual, dan sebagainya.
Kita bisa saja beralasan bahwa kita sedang belajar sesuatu. Namun, apakah Anda benar-benar mempelajarinya? Ataukah Anda hanya menabung informasi, memasukkan secara konstan informasi ke otak Anda tanpa sempat mengunyahnya dengan perlahan-lahan? Lalu dengan tombol ‘share’, Anda merasa telah menunaikan pesan bahwa berbagi itu baik?
Bisakah Anda bayangkan orang yang memakan dengan begitu rakus dan kalap tanpa sempat mengunyah dan mencerna makanannya? Lalu, apa yang ia kunyah itu, ia lemparkan pula ke orang lain untuk seterusnya dikunyah?
Tentu tidak masalah jika informasi tersebut telah terverifikasi dengan baik, data dan faktanya valid, plus bermanfaat. Bagaimana jika tidak? Maka, penyebaran hoax, ujaran kebencian, dan informasi sejenisnya tak bisa Anda elakkan. Apalagi jika sudah disangkutpautkan dengan urusan agama dan politik, bangsa kita tergolong gaduh.
Maka, di tengah kegaduhan atau keriuhan itu, pikiran kita pun tambah ruwet. Awalnya pikiran kita segar ketika membuka media sosial, tapi begitu terpapar oleh konten yang beracun, kita pun pelan-pelan teracuni. Emosi kita naik. Tekanan darah kita naik.
Di sinilah perkataan bijak Rumi, penyair Persia, menemukan oasenya. Bahwa seni mengetahui itu adalah mengetahui apa yang perlu diabaikan.
Ya, tidak semua informasi perlu kita konsumsi. Tidak semua hal perlu kita ketahui. Kita tidak perlu takut untuk dibilang kurang up-to-date atau kurang kekinian. Tak perlu takut dibilang ketinggalan zaman.
Kita justru perlu berpikir kritis. Belajar menanyakan, apa pentingnya informasi itu saya ketahui? Apa relevansinya dengan saya? Adakah manfaatnya? Mengapa saya perlu mengetahuinya sekarang? Kalau saya mengetahuinya nanti saja, apakah hidup saya akan hancur berantakan dalam waktu dekat?
Ya, rasa kritis inilah yang perlu dibangun. Cara berpikir bahwa kita perlu mengabaikan hal-hal tidak esensial dalam hidup. Kita perlu ‘decluttering’ sampah informasi yang bahkan sudah kadung masuk ke kepala kita. Benarkah? Baikkah? Bermanfaatkah? Urgenkah?
Ini memang tidak mudah, tapi bisa dilatih. Jika kita membiasakan alam bawah kita menyerap saja, cobalah untuk berjarak dengannya. Latih nalar kita untuk menyaring, menyeleksi, dan mempertanyakan. Alat bantunya sederhana saja, yakni: bertanyalah dengan kata kunci: apakah informasi ini benar? Sejauh mana kebenarannya bisa dipertanggjungjawabkan? Apakah ia penting? Apakah ia bermanfaat? Apakah ia layak saya bagikan kepada orang lain?
Namanya latihan, biar mahir dan terampil, pastinya butuh waktu dan usaha. Seni mengabaikan ini pun demikian. Anda butuh waktu latihan yang panjang. Anda juga perlu mengupayakannya.
Pertanyaannya adalah apakah Anda mau mengusahakannya?
Oleh: Lalu Abdul Fatah