JANGAN LIHAT TATONYA
Suatu ketika di pertemuan pertama kelas Ecotourism di Surabaya Hotel School, pandangan saya terarah pada seorang siswa. Pelipis, pipi, hingga lehernya bertato. Punggung tangan hingga sikunya bertato (saya tahu kemudian kalau itu tato sampai lengan). Cuping bawah telinganya berlubang, bekas tindikan.
Saya penasaran. Di antara dua puluhan anak lainnya, ia tampil mencolok dengan tato tersebut. Karena mengajar Ecotourism, saya langsung ingat dengan beberapa suku di Indonesia yang bertato, semisal Dayak dan Mentawai. Apalagi kulit siswa saya tersebut cukup terang.
Saya bertanya, “Kamu dari mana?”
“Saya asli Surabaya, Pak.”
Gugur sudah sangkaan saya bahwa ia dari Kalimantan atau Sumatera di mana Dayak dan Mentawai berada.
“Kamu pakai tato, kenapa?”
Ini bukan pertanyaan interogatif atau menghakimi. Ini pertanyaan lebih bernada penasaran ala anak kecil yang lihat hal baru dalam hidupnya.
“Asyik saja, Pak.”
Saya membayangkan jarum tato yang ditusukkan ke tubuhnya. Saya hanya bergidik ngeri.
“Kamu enggak kesakitan?”
“Sakit sih, Pak,” jawabnya dengan senyum-senyum.
Saya berhenti sampai di situ kemudian cerita tentang Suku Mentawai yang punya budaya menato tubuh. Saya lantas bicara tentang stereotipe masyarakat terhadap orang-orang bertato. Pasti langsung muncul citra buruk tentang mereka.
Pada pertemuan yang berbeda, saya mengajak siswa saya menuliskan pengalaman jalan-jalannya. Mereka harus membawa foto mereka. Narasinya ditulis di kelas dengan metode deskriptif lima indra. Ketika waktunya kelar, saya tantang mereka secara sukarela membacakan tulisannya. Siswa saya yang bertato ini mengacungkan tangan.
Ia maju ke depan kelas dan cerita tentang pengalamannya ke klub malam. Secara detail ia membacakan tulisannya sembari menunjukkan fotonya. Lampu yang kelap-kelip, aroma minuman yang menguar, suara musik yang menghentak, senderan perempuan di bahunya, dan suasan hatinya kala itu. Ia ceritakan dengan cukup menarik.
Saya takjub sekaligus memberikan apresiasi di hadapan teman-temannya. Ia menulis dengan jujur. Ia telah mampu mengajak kami mengikuti kisahnya. Ia bisa memberikan imaji hidup di benak pendengarnya.
Saya sejenak melupakan tatonya. Saya berupaya menembus alam pikirannya.
Pada pertemuan yang berbeda tentang membuat video menggunakan smartphone, saya kembali mengutarakan tentang pentingnya cerita. Saya lalu bertanya kepada beberapa siswa, apa cerita dalam hidup mereka yang berkesan dan sampai sekarang masih mereka ingat. Salah satu yang saya mintai berpendapat adalah siswa saya yang bertato ini.
“Sewaktu kecil saya pernah dilempar pisau sama ibu saya.”
“Hah? Beneran?”
“Iya, ibu saya temperamen. Gampang marah.”
Terkait bagaimana memvisualkannya dengan kamera, saya sampai bergerak memperagakan adegan tersebut. Lokasi kejadian, posisi berdiri sang ibu, bagaimana siswa ini bergerak menghindar, dan seterusnya. Saya baru tahu pula tentang ayahnya yang seorang chef, pernah lama kerja di kapal pesiar.
Satu per satu kepingan puzzle kisah siswa saya itu mulai tersusun di benak saya meski belum sempurna. Tentang satu peristiwa ‘kecil’ yang ia alami di masa lalu, profil singkat orangtuanya, penggalan kisahnya di klub malam, juga tindakannya untuk menato tubuhnya. Masih ada banyak kepingan yang bercecer dan belum saya kuak.
Kini ia pun telah memutuskan masuk sekolah perhotelan mengambil jurusan Food Product. Ia bercita-cita kelak menjadi chef dan bekerja di Jerman. Saya dan segenap temannya mengaminkan.
Detik ketika paragraf ini saya tuliskan, terlintas kalimat berikut, “Adakah yang lebih indah dari sekadar menilai orang lain dari tampilan luarnya? Adakah yang lebih penting tinimbang belajar bertanya alih-alih mengambil kesimpulan mentah? Adakah yang lebih berharga daripada menyediakan telinga untuk mendengarkan, alih-alih berkehendak kuat untuk mengomentari apa pun secara membabi buta?”
Ini cerita dari kelas saya. Bagaimana dengan Anda?
Oleh: Lalu Abdul Fatah